Papua Tengah, papedanews.com-
Kepala Suku Besar Wilayah Meepago, Provinsi Papua Tengah, Melkias Keiya, menegaskan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri di atas tiga pilar utama: Adat, Agama, dan Pemerintah. Namun, menurutnya, hingga saat ini porsi adat masih dipandang sebelah mata dan bahkan diposisikan seolah-olah sebagai “ranah budak” dalam tubuh NKRI.
“Adat adalah warisan leluhur, identitas bangsa, sekaligus pilar yang menyatukan masyarakat. Sayangnya, nilai adat sering diremehkan oleh negara maupun pemerintah daerah, baik dalam sisi sumber daya manusia maupun hak-hak adat lainnya,” tegas Keiya dalam pernyataannya, Jumat (22/8).
Negara Abaikan Hak-Hak Adat
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menyoroti tiga persoalan mendasar yang sering dialami masyarakat adat:
1. Tokoh adat dan kepala suku jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan pembangunan.
2. Hak ulayat, tanah leluhur, dan hutan adat kerap terpinggirkan karena kepentingan investasi.
3. Lembaga adat dilemahkan, padahal sejak dahulu menjadi benteng penyelesaian konflik dan perdamaian.
Keiya menegaskan bahwa pengakuan terhadap adat sesungguhnya telah dijamin dalam konstitusi. Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 dengan jelas menyebutkan negara mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat hukum adat. Selain itu, sejumlah undang-undang seperti UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 6/2014 tentang Desa, serta Putusan MK No. 35/2012 tentang hutan adat, juga memperkuat keberadaan adat dalam sistem hukum nasional.
Perlu Insentif untuk Kepala Suku
Dalam kesempatan itu, Melkias Keiya juga menekankan pentingnya insentif resmi bagi kepala suku dan tokoh adat. Menurutnya, pemberian insentif adalah bentuk penghormatan negara terhadap peran adat dalam menjaga stabilitas dan harmoni sosial.
“Para kepala suku menjaga kedamaian, menyelesaikan konflik, melindungi hutan, dan membina masyarakat adat. Sudah seharusnya negara hadir memberikan insentif yang layak, sebagaimana perangkat desa dan tokoh agama,” ujar Keiya.
Ia menyebut insentif bisa berupa dana bulanan yang dialokasikan dari APBD maupun APBN, fasilitas operasional, serta program pemberdayaan SDM adat. Kebijakan ini diyakini akan memperkuat sinergi antara adat, agama, dan pemerintah sebagai pilar bangsa.
Seruan kepada Pemerintah
Keiya menutup pernyataannya dengan menyerukan agar pemerintah pusat dan daerah segera:
Menghormati adat sejajar dengan agama dan pemerintah.
Melindungi hak-hak tanah ulayat, hutan, dan sumber daya adat.
Memberikan insentif resmi kepada kepala suku dan tokoh adat.
Menjadikan lembaga adat mitra negara dalam menjaga keadilan dan kedamaian.
“Adat bukanlah budak dalam tubuh NKRI, melainkan salah satu pilar penopang bangsa. Jika adat terus diabaikan, sama saja negara merobohkan salah satu tiang utama yang menopang rumah besar Indonesia,” pungkas Keiya.
( papedanews )